Dualisme peraturan berdasarkan pada peruntukan pola ruang sesuai Peraturan Daerah
Kabupaten Lamongan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Lamongan Tahun 2020-2039 dan Lahan Sawah yang Dilindungi sesuai
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tentang Penetapan Peta Lahan Sawah yang
Dilindungi Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten, Provinsi
Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa
Timur, Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Luasan kawasan tanaman pangan
pada RTRW Kabupaten Lamongan Tahun 2020-2039 sebesar 53.384 hektar meliputi
Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) seluas 45.841 hektar dan Kawasan
Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) seluas 7.543 hektar. Luasan
tersebut berbeda dengan luasan pada penetapan Lahan Sawah yang Dilindungi. Menurut
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 1589/SK-HK.02.01/XII/2021, penetapan peta Lahan Sawah yang
Dilindungi di Kabupaten Lamongan seluas 98.481,92 hektar. Terdapat perbedaan/selisih
luasan antara kawasan tanaman pangan pada RTRW Kabupaten Lamongan dan lahan sawah
2
yang dilindungi seluas 45.097,92 hektar. Adanya dualisme peraturan ini berdampak pada
terhambatnya investasi. Menurut Ketua APERNAS Soloraya Budiono dalam Solopos.com,
kebijakan pemerintah seharusnya mencerminkan good corporate governance dengan 4
tahapan yaitu partisipasi yang melibatkan stakeholder, rule of law (penerbitan SK tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang ada), adanya transparansi serta mekanisme
penyusunan LSD harus benar.