Terbitnya Undang-Undang Kehutanan (Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1967 yang telah dicabut dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999) dan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, mengakibatkan terdapat dua rezim pengaturan terkait
penguasaan (tenurial) dan pemanfaatan sumber daya lahan atau pertanahan di
Indonesia. Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah adalah melalui
izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedangkan di luar
kawasan kehutanan, atau yang disebut dengan Area Penggunaan Lain
(APL/nonkawasan hutan) administrasi pertanahan merupakan kewenangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Dual sistem tersebut berakibat pada peliknya penyelesaian persoalan
tenurial di Indonesia karena ketidakpastian hukum terkait pengakuan penguasaan
lahan/tanah oleh pihak yang memerlukan penguasaan lahan (sementara) dan atau
masyarakat. Setidaknya sampai dengan tahun 2018, terdapat 9,2 juta rumah
tangga atau 37,2 juta orang yang bermukim di sekitar kawasan hutan dengan lebih
dari 25.800 desa yang berbatasan/di dalam kawasan hutan. Melalui jumlah
tersebut, Sebanyak 1,7 juta tergolong sebagai rumah tangga miskin sehingga
mengakibatkan angka ketimpangan penguasaan tanah menjadi besar (Peraturan
2
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2020). Permasalahan tersebut merupakan salah satu
alasan pentingnya isu mengenai bidang tanah yang berbatasan maupun di dalam
kawasan hutan perlu dibahas.