Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara
produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan
bagi pihak-pihak yang memerlukan terutama fakir miskin. Pemanfaatan
tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan
memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dan hanya
terbatas pada hal-hal di atas tanpa di imbangi dengan mewujudkan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi
secara optimal. Mengingat pentingnya persoalan tentang wakaf tanah ini, maka
lahir Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. UndangUndang ini diharapkan akan membawa perubahan dalam pengembangan
wakaf pada masa yang akan datang. Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, menjelaskan bahwa wakaf
bertujuan untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan
fungsinya yaitu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda
wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum.
Wakaf dinyatakan sah dengan ucapan atau perbuatan yang
menunjukan makna wakaf, seperti seseorang menjadikan tanahnya
sebagai masjid dan mengizinkan orang-orang untuk shalat didalamnya
atau tanah yang diperbolehkan untuk dijadikan pemakaman atau
menguburkan jenazah di tempat tersebut.
Sementara praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya,
terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga secara melawan hukum. Hal
ini disebabkan tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan
Nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf,
melainkan juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum
memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi
untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukan wakaf itu sendiri.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir atau menghindari
terjadinya Permasalahan dalam pemanfaatan serta pengelolaan harta
benda wakaf berupa tanah maka diperlukan sertifikasi tanah wakaf.
Selain itu sertifikasi tanah wakaf sangat diperlukan agar terciptanya tertib
administrasi dan kepastian hukum dalam rangka pengamanan tanah
wakaf
Dalam tataran proses sertipikasi tanah wakaf, informasi tentang
jumlah tanah wakaf yang belum bersertipikat, dokumen bukti perolehan
harta benda wakaf serta nazir pengelola tanah wakaf perlu terdata dan
tersedia dengan baik. Demikian pula halnya dengan tanah wakaf yang
tidak didukung bukti perolehan yang cukup (tidak ada Akta Ikrar wakaf)
harus tercatat dan terdata dengan baik agar dapat dicarikan solusi
penyelesaian dalam proses sertipikasi tanah wakaf.
Seiring perkembangan serta dinamika ekonomi suatu wilayah
yang mengalami pertumbuhan, harta benda wakaf yang tidak tercatat dan
terdata dengan baik potensi untuk terjadi sengketa cukup besar, karena
kanaikan harga tanah dan kebutuhan akan tanah yang semakin
meningkat sedangkan tanah bersifat tetap.
Percepatan dan penyelesaian tanah wakaf tidak terlepas dari
peran pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Banyaknya permasalahan yang sering
sekali muncul dari tanah wakaf adalah sengketa tanah wakaf antara nazir
dengan keluarga wakif. sedangkan sertipikat tanah wakaf belum di urus
ketika wakif masih hidup sehingga terjadi perselisihan yang tidak jarang
menimbulkan korban jiwa dikedua belah pihak. Untuk itu Pemerintah
menerbitkan regulasi berupa Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf. disamping itu Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat
Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 /SE/3 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Menteri
Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Percepatan
Pendaftaran Tanah Tempat Peribadatan di Seluruh Indonesia.
Upaya pengamanan tanah wakaf dapat ditindak tindaklanjuti
dengan tersedianya informasi yang lengkap mengenai:
1. Jumlah tanah wakaf yang telah bersertipikat;
2. Jumlah tanah wakah yang belum bersertipikat beserta data lokasinya;
3. Tanah wakaf yang bersengketa, konflik dan perkara;
4. Rencana aksi sertipikasi tanah wakaf melalui PTSL atau Rutin;
5. Penyelesaikan sengketa, konflik dan perkara tanah wakaf serta
memberikan pertimbangan hukum penyelesaiannya;
6. Menetapkan target Sertipikasi tanah wakaf.