Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Bumi, Air
dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas dasar tersebut,
berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria diatur macam-macam hak atas permukaan bumi (hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan, dan hak-hak lain) atau yang sering disebut dengan hak atas
tanah yang dapat diberikan kepada orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan hukum dan harus dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang
tercantum di dalam peraturan perundang-undangan dan surat keputusan pemberian
haknya, dipelihara tanahnya, serta dilarang menelantarkan tanahnya.
Dalam pelaksanaannya pemegang hak masih belum memanfaatkan tanahnya
secara optimal dan mengusahakannya sesuai dengan peruntukan surat keputusan
pemberian hak sehingga berpotensi menjadi tanah telantar. Tanah yang telantar akan
berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai program pembangunan yang
dapat menyebabkan timbulnya kesenjangan sosial dan ekonomi serta menurunkan
kualitas lingkungan, sehingga penelantaran tanah ini harus dicegah melalui penertiban
serta pendayagunaan kembali.
Selain diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Tanah Telantar
sebelumnya diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar jo. Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 24 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar yang kemudian dicabut dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar jo. Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan
Tanah Terlantar. Dalam perkembangannya aturan tersebut kemudian dicabut sejak
terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Disebutkan pada Bab XIII Ketentuan Lain-Lain Pasal 180 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja bahwa “Hak, izin, atau konsesi atas tanah dan atau kawasan yang
dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2
(dua) tahun sejak diberikan dicabut dan dikembalikan kepada negara”. Hal ini yang
kemudian menjadi dasar ditetapkan aturan turunan terbaru yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar serta
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penertiban dan
Pendayagunaan Kawasan dan Tanah Telantar.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan
Tanah Telantar jo. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Tata Cara
Penertiban dan Pendayagunaan Kawasan dan Tanah Telantar mengatur mengenai
beberapa hal beserta tata cara pelaksanaannya antara lain:
1. Inventarisasi Kawasan dan Tanah Terindikasi Telantar;
2. Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar;
3. Pendayagunaan Kawasan Telantar dan TCUN (Tanah Cadangan Untuk Negara)
Kemudian Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang
Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar jo. Pasal 19 Ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penertiban dan Pendayagunaan Kawasan dan
Tanah Telantar, bahwa hasil Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar berupa Data
Tanah Terindikasi Telantar kemudian harus dilakukan proses Administrasi dan
Pemeliharaan Data ke dalam suatu Basis Data untuk keperluan pelaporan, bahan
analisis serta penentuan tindakan selanjutnya. Basis Data tersebut terintegrasi dengan
sistem informasi pertanahan Kementerian yang menyelenggarakan urusan pertanahan
dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Terkait
hal tersebut saat ini telah ada Basis Data yang terintegrasi dengan sistem informasi
pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yaitu
Sistem Informasi Tanah Terlantar (https://pendayagunaantanah.atrbpn.go.id).
Namun pada kenyataannya, data tanah terindikasi telantar di Wilayah Provinsi
Lampung yang dihimpun berdasarkan Sistem Informasi Tanah Terlantar
(https://pendayagunaantanah.atrbpn.go.id) berdasarkan pantauan masih memerlukan
updating/pembaharuan data dikarenakan belum terbaharui/update data tanah
terindikasi telantar tersebut. Data yang ditampilkan dalam daftar tanah terindikasi
9
telantar pada Sistem Informasi Tanah Terlantar
(https://pendayagunaantanah.atrbpn.go.id) tahun 2022 menunjukan belum adanya data
yang valid dan update setiap saat. Belum optimalnya pembaharuan melalui
pemutakhiran data tanah terindikasi telantar pada Sistem Informasi Tanah Terlantar
menjadi faktor utama belum terciptanya kualitas data tanah terindikasi telantar yang
terkini/update sehingga kegiatan penertiban tanah terindikasi telantar menjadi tidak
maksimal. Pentingnya kualitas data tanah terindikasi telantar pada Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung guna mencapai hasil kinerja yang baik.