Dengan terjadinya eksodus besar-besaran sebagai dampak
dari konflik sosial tahun 1999-2000 tersebut di atas termasuk juga
para transmigran yang ketika ditempatkan dan mendapatkan sertipikat
tanah kembali lagi ke daerah asalnya, menjual tanah hasil program
transmigrasi tersebut kepada penduduk setempat maupun masyarakat
transmigran lain yang lebih memilih untuk menetap sampai saat ini
baik lahan pekarangan, lahan usaha I maupun lahan usaha II. Hal ini
menimbulkan permasalahan baru baik bagi para pemegang hak, para
pemegang hak berikutnya (pembeli), pemerintah daerah setempat
maupun dalam rangka pengelolaan administrasi pertanahan.
Sehingga sasaran strategis yang ingin dicapai, yaitu Penguasaan,
Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah yang Berkepastian Hukum dan Produktif (Aspek Sosial dan Ekonomi) belum dapat
diwujudkan.