Terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
dan Kadipaten Pakualaman sebagai Badan Hukum Kebudayaan yang dapat
memiliki Hak Milik Atas Tanah (Jalil, dkk, 2017). Menurut catatan Pemerintah DIY
pada Tahun 2019, Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten berjumlah 14.044
bidang tanah, yang tersebar di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
dengan perkiraan luas total 3.518 Ha, atau sekitar 1,2 persen dari luas wilayah
DIY (Suyitno, 2012).
Pengelolaan dan pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten
ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan
sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten
dapat digunakan oleh masyarakat/institusi untuk tujuan tersebut, seperti
penggunaan Tanah Kasultanan untuk Gedung Kanwil BPN DIY, BPJS
Ketenagakerjaan, balai RW, dan pemukiman. Penggunaan tersebut jelas harus
mendapatkan izin dari Pihak Kasultanan atau Kadipaten. Tapi di sisi lain, sejumlah
warga di Yogyakarta resah dan khawatir kehilangan tanahnya, karena
ketidakpastian status tanah yang dikuasai/ditempati (Laila, 2016). Hal ini terjadi
kemungkinan karena kurangnya sosialisasi dan publikasi mengenai UU No. 13
Tahun 2012 beserta peraturan pelaksanaannya, sehingga masyarakat tidak
memahami tujuan pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan Tanah
Kadipaten. Kekhawatiran masyarakat tersebut dijawab oleh Penghageng Tepas
Panitikismo Kraton Yogyakarta KGPH Hadiwinoto yang mempersilahkan
masyarakat Gunungkidul memanfaatkan Tanah Kasultanan untuk kegiatan
pariwisata di kabupaten Gunungkidul (Hadiwinoto, 2019).