Kementerian ATR/BPN
memegang peranan yang sangat strategis dalam mewujudkan pembangunan nasional melalui
pengelolaan penataan ruang dan pertanahan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Selanjutnya pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut diamanatkan melalui Peraturan Presiden
Nomor 47 Tahun 2020 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Peraturan Presiden
Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang ditetapkan
pada bulan November 2020 dan saat ini telah menjadi Undang–Undang Nomor 6 Tahun 2023
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, merupakan langkah terobosan untuk
melaksanakan akselerasi proses pembangunan nasional melalui pemberian kemudahan
berusaha dan perkembangan investasi. Salah satu permasalahan investasi dan penciptaan
lapangan kerja adalah tumpang tindih pengaturan penataan ruang. Maka dikembangkanlah
berbagai terobosan kebijakan penataan ruang agar dapat mendorong kemudahan
berinvestasi dalam pemanfaatan ruang yang berkelanjutan.
UUCK menegaskan pada penyederhanaan dokumen rencana tata ruang;
pengintegrasian perencanaan ruang di wilayah darat dan di wilayah laut/perairan; penetapan
luasan kawasan hutan dan penutupan hutan; pengaturan detail terkait penyusunan rencana
detail tata ruang; pengaturan kembali jangka waktu penyusunan dan penetapan rencana tata
ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan rencana detail tata
ruang; penataan kewenangan dalam penyelenggaraan penataan ruang; kriteria dan tata cara
2
peninjauan kembali rencana tata ruang; rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang; dan penyederhanaan perizinan tata ruang menjadi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang (KKPR). UUCK kemudian diturunkan ke dalam PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang (SPPR). Terdapat
perubahan nomenklatur yang cukup krusial dalam aspek tata ruang dalam Pasal 13 UUCK,
yaitu perubahan istilah “izin pemanfaatan ruang” menjadi “Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang (KKPR)” sebagai salah satu persyaratan dasar perijinan berusaha. KKPR adalah
kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RTR.
Pelaksanaan KKPR terdiri atas KKPR untuk kegiatan berusaha, KKPR untuk kegiatan non
berusaha, dan KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional. Pelaksanaan KKPR
berusaha saat ini dilaksanakan melalui sistem Online Single Submission-Risk Based Approach
(OSS-RBA). OSS-RBA adalah aplikasi yang memberikan kemudahan berinvestasi melalui
penerapan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik. Salah satu upaya untuk
menunjang pelaksanaan KKPR adalah sebuah terobosan dalam bentuk integrasi antara sistem
OSS-RBA dengan sistem GISTARU (Geographic Information Sistem Tata Ruang) sebagai induk
dari Geographic Information System (GIS) Direktorat Jenderal Tata Ruang. GISTARU saat ini
menaungi 2 (dua) sistem informasi, yaitu RTR Online dan RDTR Interaktif.
Mekanisme teknis integrasi antara OSS dan GISTARU adalah saat RDTR sudah
diintegrasikan pada sistem OSS maka penerbitan KKPR berupa Konfirmasi KKPR (KKKPR).
Namun apabila pada lokasi rencana kegiatan belum tersedia RDTR yang terintegrasi dengan
sistem OSS, maka penerbitan KKPR berupa Persetujuan KKPR (PKKPR) melalui kajian terhadap
rencana tata ruang lainnya (RTRWN, RTR KSN, RTR Pulau/Kepulauan, RTRW Provinsi, RTRW
Kab/Kota). Penerbitan dokumen untuk pelaksanaan KKPR dengan penilaian dilakukan paling
lama 20 hari kerja sejak persyaratan permohonan telah diterima secara lengkap dan
penerimaan negara bukan pajak diterima (Peraturan Menteri ATR/BPN No.13 Tahun 2021).
Sementara itu, pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan Nonberusaha dan Kegiatan yang
Bersifat Strategis Nasional masih dilakukan secara manual, yaitu pemohon dapat mengajukan
3
permohonan dalam bentuk surat permohonan kepada Kementerian ATR/BPN maupun
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Berdasarkan data rekapitulasi pengajuan Persetujuan KKPR untuk kegiatan Berusaha
pada Kewenangan Pusat di wilayah Sumatera (status permohonan 31 Juli 2023 Pukul 23.00)
terdapat 831 permohonan dan 239 permohonan diantaranya telah masuk ke dalam tahapan
penilaian. Rata-rata waktu penerbitan KKPR pada saat itu adalah 93 hari dan telah melampaui
penetapan waktu pengerjaan selama 20 hari kerja. Salah satu penyebab keterlambatan
tersebut adalah “kurangnya pemanfaatan teknologi pada proses penilaian KKPR”. Isu tersebut
dinilai memiliki dampak yang luas ke berbagai pihak, sehingga diperlukan upaya preventif agar
proses penilaian Persetujuan KKPR, khususnya Persetujuan KKPR untuk kegiatan Berusaha,
harus dilakukan dengan cepat serta tetap memperhatikan kaidah penataan ruang, dan hasil
yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan.